Minggu, 02 Juni 2013

All About Pulau Paskah




Pulau Paskah (bahasa Polinesia: Rapa Nui, bahasa Spanyol: Isla de Pascua) adalah sebuah pulau milik Chili yang terletak di selatan Samudra Pasifik. Walaupun jaraknya 3.515 km sebelah barat Chili Daratan, secara administratif ia termasuk dalam Provinsi Valparaiso. Pulau Paskah berbentuk seperti segitiga. Daratan terdekat yang berpenghuni ialah Pulau Pitcairn yang jaraknya 2.075 km sebelah barat. Luas Pulau Paskah sebesar 163,6 km². Menurut sensus 2002, populasinya berjumlah 3.791 jiwa yang mayoritasnya menetap di ibukota Hanga Roa. Pulau ini terkenal dengan banyaknya patung-patung (moai), patung berusia 400 tahun yang dipahat dari batu yang kini terletak di sepanjang garis pantai.
Orang yang pertama kali menempati Pulau Paskah adalah keturunan imigran dari Polinesia yang kemungkinan berasal dari Pulau Mangareva atau Pitcairn di sebelah barat. Sejarah pulau ini dapat dihubungkan berkat daftar raja Pulau Paskah yang telah direkonstruksi, lengkap dengan rangkaian peristiwa dan tanggal perkiraan sejak tahun 400. Penghuni asal Polinesia tersebut membawa sejumlah pisang, talas, ubi manis, tebu, bebesaran kertas(paper mulberry) dan ayam. Pada suatu masa, pulau ini menopang peradaban yang relatif maju dan kompleks. Ahli navigasi asal Belanda Jakob Roggeveen menemukan Pulau Paskah pada Hari Paskah tahun 1722. Roggeveen memperkirakan sekitar 2.000-3.000 orang menghuni pulau ini, tetapi ternyata jumlah penduduk mencapai 10.000-15.000 jiwa pada abad ke-16 dan 17. Peradaban Pulau Paskah telah merosot secara drastis semenjak 100 tahun sebelum kedatangan Belanda, terutama akibat terlalu padatnya jumlah penduduk, penebangan hutan dan eksploitasi sumber daya alam yang terbatas di pulau yang amat terisolasi ini. Namun, hingga pertengahan abad ke-19, populasi telah bertambah hingga mencapai 4.000 jiwa. Hanya berselang waktu 20 tahun kemudian, deportasi ke Peru dan Chili serta berbagai penyakit yang dibawa oleh orang Barat hampir memusnahkan seluruh populasi, dengan hanya 111 penduduk di pulau ini pada 1877.

Pulau ini dianeksasi oleh Chili pada 1888 oleh Policarpo Toro. Jumlah penduduk asli suku Rapanui perlahan-lahan telah bertambah dari rekor terendah berjumlah 111 jiwa. Perlu diketahui bahwa nama "Rapa Nui" bukan nama asli Pulau Paskah yang diberikan oleh suku Rapanui. Nama itu diciptakan oleh para imigran pekerja dari suku asli Rapa di Kepulauan Bass yang menyamakannya dengan kampung halamannya. Nama yang diberikan suku Rapanui bagi pulau ini adalah Te pito o te henua ("Puser Dunia") karena keterpencilannya, namun sebutan ini juga diambil dari lokasi lain, mungkin dari sebuah bangunan di Marquesas.
Pulau Paskah yang modern memiliki sedikit pepohonan. Pulau ini dulunya pernah mempunyai hutan pohon palem. Menurut pemikiran populer yang berkembang, para penghuni pertama pulau ini telah mengeksploitasi pepohonan di seluruh pulau untuk membuat tempat moai serta membangun perahu nelayan dan bangunan. Ada bukti yang menunjukkan gundulnya pulau ini bertepatan dengan runtuhnya peradaban Pulau Paskah. KonteksMidden pada waktu itu menunjukkan penurunan yang mendadak pada jumlah tulang ikan dan burung ketika para penduduk kehilangan akal untuk membangun kapal nelayan dan burung-burung kehilangan tempat sarang. Ayam dan tikus menjadi sarapan utama para manusia. Berdasarkan sisa-sisa manusia, ada bukti bahwa kanibalisme berlangsung. Populasi kecil yang masih hidup berhasil mengembangkan tradisi baru untuk membagi-bagikan sumber yang tersisa sedikit. Pada grup pemuja manusia burung (manutara), sebuah pertandingan dibentuk manakala setiap tahunnya sebuah wakil dari setiap suku, yang dipilih oleh pemimpin masing-masing, menyelam ke laut dan berenang menuju Motu Nui, sebuah pulau kecil tetangga, untuk mencari telur pertama yang ditetaskan oleh seekor Sooty Tern pada musim menelur. Perenang pertama yang kembali dengan telur itu dapat mengontrol sumber pulau untuk sukunya selama tahun itu. Tradisi ini masih diterapkan pada saat bangsa Eropa mendarat di pulau ini. Namun, penelitian baru memunculkan dugaan bahwa keadaan yang sesungguhnya justru lebih kompleks. Luasnya pulau yang dibersihkan dari pepohonan hanyalah salah satu ujung akhir dalam sebuah seri ketidakberuntungan yang dialami Pulau Paskah. Sebuah studi mengenai faktor-faktor lingkungan di 69 pulau-pulau di Pasifik mengatakan bahwa meskipun dipenuhi batu-batu pemujaan, para dewa ternyata marah terhadap pulau ini. Pulau Paskah adalah daratan luas yang tidak subur dan kering. Tanahnya terlalu tandus untuk ditanami pohon-pohon kembali setelah tanaman asli dipanen. Pulau ini tidak mendapat keuntungan dari debu vulkanik yang subur seperti pulau-pulau lain. Jadi, sekali pulau itu dibersihkan, tidak ada harapan untuk pemulihan.
Patung-patung besar dari batu, atau moai, yang menjadi simbol Pulau Paskah dipahat pada masa yang lebih dahulu dari yang diperkirakan. Arkeologis kini memperkirakan pemahatan tersebut berlangsung antara 1600 dan 1730, patung yang terakhir dipahat ketika Jakob Roggeveen menemukan pulau ini. Terdapat lebih dari 600 patung batu monolitis besar (moai). Walaupun bagian yang sering terlihat hanyalah "kepala", moai sebenarnya mempunyai batang tubuh yang lengkap; namun banyak moai yang telah tertimbun hingga lehernya. Kebanyakan dipahat dari batu di Rano Raraku. Tambang di sana sepertinya telah ditinggalkan dengan tiba-tiba, dengan patung-patung setengah jadi yang ditinggalkan di batu. Teori populer menyatakan bahwa moai tersebut dipahat oleh penduduk Polinesia (Rapanui) pada saat pulau ini kebanyakan berupa pepohonan dan sumber alam masih banyak yang menopang populasi 10.000-15.000 penduduk asli Rapanui. Mayoritas moai masih berdiri tegak ketika Roggeveen datang pada 1722. Kapten James Cook juga melihat banyak moai yang berdiri ketika dia mendarat di pulau pada 1774. Hingga abad ke-19, seluruh patung telah tumbang akibat peperangan internecine.
"Rongorongo"
Ada berbagai lembaran (tablet) yang ditemukan di pulau yang berisikan tulisan misterius. Tulisan, yang dikenal dengan Rongorongo, belum dapat diuraikan walaupun berbagai generasi ahli bahasa telah berusaha. Seorang sarjana Hongaria, Wilhelm atau Guillaume de Hevesy, pada 1932 menarik perhatian tentang kesamaan antara beberapa karakter rongorongo Pulau Paskah dan tulisan pra-sejarah Lembah Indus di India, yang menghubungkan lusinan (sedkitnya 40) rongorongo dengan tanda cap dari Mohenjo-daro. Hubungan ini telah diterbitkan kembali di berbagai buku. Arti rongorongo kemungkinan ialah damai-damai, dan tulisannya mungkin mencatat dokumen perjanjian damai, misalnya antara yang bertelinga panjang dan penguasa bertelinga pendek. Namun, penjelasan tersebut masih dalam perdebatan, dan ada ahli yang mengartikan rongorongo sebagai "mengucapkan."

“Perpindahan Patung di Pulau Paskah”
Pulau Paskah di Chile memiliki pemandangan menakjubkan berupa ribuan patung. Kontroversi tentang bagaimana patung-patung tersebut "berpindah" ternyata masih berlanjut.

 Penempatan patung yang terlihat begitu natural menjadi salah satu misteri terbesar di dunia saat ini. Terdapat sekira 1.000 patung yang lebih sering disebut dengan nama ‘moai’ di pulau tersebut. Patung-patung tersebut rata-rata memiliki berat hingga 74 ton dengan tinggi mencapai 10 meter. Metode penempatan patung-patung yang disinyalir dilakukan 800 tahun lalu selalu memancing perdebatan.Patung patung di pulau ini sering dikunjungi wisatawan. Pengunjung yang datang sering berdecak kagum dan dibuat takjub dengan pemandangan yang tersaji.      
Arkeolog dari Universitas California, Carl Lipo, mengklaim jika teori sebelumnya yang percaya jika patung tersebut dipindahkan menggunakan alat-alat tertentu, tidak dapat dibuktikan. 

Studi menunjukkan bahwa patung-patung tersebut bergerak sendiri akibat guncangan, seperti dilansir dari News, Sabtu (27/10/2012).


Dia pun menjelaskan, tersebarnya patung-patung tersebut di seluruh pulau menjadi salah satu bukti yang mendukung studi tersebut. Profesor Lipo menambahkan, bentuk patung-patung yang rusak ataupun posisinya yang tidak sempurna dikarenakan pergerakan yang tidak konsisten.

Tim peneliti pun menggunakan sebuah replika patung untuk menunjukkan bagaimana patung-patung tersebut dapat "berjalan" ke posisinya masing-masing.
“Pulau Paskah Berganti Nama”
Pulau Paskah yang terkenal dengan patung-patung Polynesia raksasanya akan berubah nama menjadi Pulau Summer. Penyebabnya, penemuan pulau tersebut bukan saat Paskah, melainkan musim panas. Sejarawan Pulau Paskah menemukan bukti bahwa penjelajah Belanda yang menemukan Pulau Paskah pada 1722 sebenarnya mencapai pulau tersebut pada Juli, bukan April seperti yang sebelumnya dipercaya dunia. Mereka mendapatkan bukti lewat artefak yang digali arkeolog di pulau yang menjadi Warisan Dunia UNESCO ini. Diketahui bahwa Perling Jorleg, penjelajah Belanda tersebut, hampir mencapai Pulau Paskah pada awal April. Namun karena badai, dia menjauhi pulau tersebut hingga datang kembali beberapa bulan kemudian. 
"Penting bagi penduduk pulau ini, dan dunia untuk mengetahui kebenaran masa lalu mereka," kata Manu Makitupa, sejarawan yang menemukan fakta tersebut, seperti dikutip dari Telegraph, Senin (1/4/2013).       
Pemerintah Chili pun telah setuju untuk mengganti nama pulau tersebut menjadi Pulau Summer (musim panas), dan diharapkan tidak mengubah perhatian dunia terhadap pulau ini. Rencananya, peresmian penggantian nama akan dilakukan pada 7 Juli 2013.     Namun, penduduk pulau enggan mengganti nama, karena dirasa akan memakan banyak biaya. Mulai dari perangko, mata uang dan produk-produk lain khas suvenir dari pulau inipun harus diganti. Patung batu raksasa itu jumlahnya hampir 1.000, menyebar di sepanjang garis pantai Easter Island, atau Pulau Paskah. Moi, demikian sebutannya, adalah arca manusia besar monolitik, yang dipahat dari batu tunggal. 
Seperti dimuat CNN, Jumat (4/1/2013), selain asal usul dan siapa yang membangun Moi, salah satu misteri yang hingga kini belum terjawab adalah, bagaimana tanah di Kepulauan Polinesia yang amat sangat terpencil itu bisa ada penghuninya?
Sebagian besar sejarawan sepakat, pelaut Polinesia tiba di sana dan bermukim sekitar tahun 400 Sebelum Masehi, tapi tidak ada yang tahu pasti, belum ada bukti sahih. Sementara sejumlah orang bahkan mengaitkannya dengan mahluk luar angkasa. Juga tanpa bukti ilmiah. 
 
Pulau Paskah tak diketahui keberadaannya hingga tahun 1722, saat penjelajah Belanda tiba. Untuk kali pertamanya penduduk Rapa Nui melakukan kontak dengan orang luar. Kala itu, patung moai masih berdiri tegak, belum ambles seperti sekarang, penduduk pulau itu diperkirakan sekitar 20.000 jiwa. Namun, populasi penduduk itu kini merosot drastis. Hanya tinggal 5.000 -- lima kali lipat jumlah Moai, lebih sedikit dari populasi kuda yang ada di sana. Meski demikian mereka masih mempertahankan tradisi nenek moyang. Salah satunya dengan menggelar Festival Tapati dari 1-14 Februari 2013, yang mempertandingkan olahraga kuno.

"Campur Tangan" Alien
    

Selain asal usul moai, ada lagi misteri tulisan Rongorongo yang belum bisa diuraikan oleh para ahli bahasa dari berbagai generasi. Yang makin menguatkan aura mistis Pulau Paskah.

Sebelumnya, sebuah serial televisi Inggris, Wild Pacific membangkitkan klaim bahwa patung-patung raksasa itu dibuat, atau setidaknya dipengaruhi mahluk ekstraterresterial.

"Apakah mahluk ekstraterrestrial mengunjungi bumi..Siapa yang membangun patung Moai raksasa Pulau Paskah yang disebut 'tugu peringatan' dari peradaban alien," demikian narasi acara tersebut seperti dimuat Discovery.       

Untuk diketahui, gagasan bahwa alien mengunjungi peradaban di masa lalu telah berkembang selama beberapa dekade. Yang paling menonjol dipromosikan oleh Erich von Daniken, penulis klasik pseudosains, "Chariots of the Gods?: Unsolved Mysteries of the Past". Von Daniken yakin, salah satunya, bahwa orang Mesir kuno tak memiliki kecerdasan maupun alat untuk membuat piramida Giza, jadi ia percaya ada campur tangan alien di sana. 
Namun, para arkeolog menepis klaim itu. Khususnya terkait moai di Pulau Paskah. Dengan mengatakan bahwa bahan pembuatan batu berasal dari gunung yang disebut Rano Raraku di timur laut pulau tersebut. Lalu, sebuah teori baru menyusul muncul, bahwa patung-patung besar seberat 74 ton itu bisa "berjalan". Diduga para pemahat sedemikian rupa merancang patung-patung itu sehingga bisa berjalan dalam arti sebenarnya. Moai diduga digerakkan dengan cara menggoyang sisi sampingnya, ke kanan dan kiri, menggunakan tali. Mirip dengan cara manusia modern memindahkan kulkas ke sudut dapur.    
Temuan sekaligus membantah teori sebelumnya yang menduga penduduk Rapa Nui di masa lalu membaringkan moai dan menggelindingkannya, dengan bantuan balok kayu. Akibatnya, terjadi eksploitasi berlebihan Pulau Rhe. Yang konon, masyarakat Rapa Nui menggunduli hutan di sana demi memenuhi obsesi mereka mendirikan patung megah para leluhur. (Ein)
Patung batu raksasa yang terdapat di pulau Paskah telah memiliki banyak misteri. Salah satunya adalah mengenai bagaimana cara patung yang disebut Moai itu bisa mencapai posisinya sekarang. Mitologi setempat mengatakan bahwa patung berbobot ton itu dapat berjalan dan mencapai posisinya sekarang. Sementara itu beberapa arkeolog mengklaim bahwa patung raksasa ini dituntun orang-orang untuk bisa mencapai posisinya.
Dilansir dari Scientific America, Rabu (7/11/2012), para arkeolog tersebut mencontohkan proses menuntun patung Moai dengan sebuah model seberat 4,4 ton. Hasil penelitian ini didetilkan dalam Journal of Archaeological Science.
Sebelumnya telah ada teori yang ditujukan berkaitan pembangunan patung Moai. Orang-orang Polinesia yang tinggal di sana pada 800 tahun silam menggelindingkan Moai tersebut di atas gelondongan kayu. Ide ini mendukung teori bahwa para penduduk setempat, bernama Rapa Nui, menjadi terobsesi dengan pembangunan patung dan menghancurkan hutan di pulau itu.       
"Ini cerita yang hebat, tapi tidak didukung bukti arkeologis," ujar Carl Lipo, arkeolog dari California State University yang bersama timnya mengajukan teori lain.
Lipo bersama timnya mengajukan teori bahwa Moai dituntun oleh orang-orang menggunakan tali, layaknya cara yang digunakan orang untuk memindahkan lemari pendingin. Patung tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan harus menggunakan sandaran. Namun setelah mencoba selama beberapa hari, sebuah kelompok yang terdiri dari 18 orang berhasil membuat model patung Moai berjalan. Mereka melakukannya dengan tiga buah tali, satu diikat dari belakang untuk menahan agar tidak jatuh, dua tali diikatkan ke arah samping kanan dan kiri Moai. Kelompok tersebut berhasil menggerakkan patung sejauh 100 meter dalam waktu kurang dari sejam. Menurut Lipo, hal ini menunjukkan bahwa sejumlah kecil orang bisa saja bekerja untuk memindahkan Moai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar